Riwayat Orang Bali


*_Orang BALI Riwayatmu Kini_*

Bali dengan luas 5.632 km2 hanya menjadi sebuah pulau kecil diantara 17.778 pulau lainnya di Indonesia, yang secara geografis tidak begitu berarti. Meskipun digolongkan sebagai salah satu pulau terpadat dengan 4 juta jiwa, namun populasi orang Bali yang tinggal di Bali menurut konsensus penduduk hanya tersisa sekitar 60%-nya saja. Yang lebih ironi, dari total orang Bali yang tinggal di Bali saat ini, sudah 10% diantaranya meningalkan agama leluhurnya, HINDU.

*_Bali pada dasarnya adalah pulau miskin yang tidak memiliki kekayaan alam, kecuali hasil pertanian dan perikanan yang juga tidak terlalu besar._* Dari segi politik, Bali juga tidak memiliki peran berarti di kancah nasional karena wakil rakyat Bali yang duduk di DPR/MPR hanya sekitar 5 orang dari total 1000 orang anggota. Dari segi pertahanan dan keamanan juga tidak mendukung.

_Sejak runtuhnya Majapahit, Bali diserang dan dihimpit dari arah Banyuwangi dan dari Lombok oleh kerajaan-kerajaan Islam waktu itu._ Mungkin karena faktor datangnya Portugal dan Belanda, gempuran kerajaan Islam pada waktu itu melemah dan Belanda membuat undang-undang khusus untuk melesarikan budaya Bali yang memang sangat endemik, sehingga kaum misionaris tidak diijinkan mengkonversi agama orang-orang Bali.

Faktor pendukung yang menguatkan posisi Bali hanyalah *_kebudayaan dan alamnya_* yang sangat mempesona serta masyarakatnya yang _sangat ramah dan terkenal jujur_ sehingga tidak salah kalau “dulu” pulau Bali dijuluki
*_“The paradise island”,_*
*_“The island with thousand temple”,_* *_“God island”_*, *_“The morning of the world”_*
Dan lain sebagainya. Namun, *masihkan Bali layak mendapat julukan seperti itu?*

*Bangunan-bangunan Pura nan megah kini disulap menjadi tempat pariwisata yang mengesampingkan “taksu”/roh dari Pura itu sendiri.* _Kehikmatan umat dalam bersembahyang harus dikesampingkan demi kepentingan para turis asing_.
*_Upacara keagamaan semakin marak dan semakin marak, tetapi kemana maknanya?_*

*Ceramah dan propaganda agama semakin marak menyerang, tetapi sudahkah hal tersebut menghasilkan output yang positif bagi moralitas dan keajegan Bali jati mula?*

_Kafe remang-remang menjamur bak musim hujan_, *kriminalitas, narkoba, miras, kenakalan remaja, dan seks bebas* sudah merambah ke desa-desa.
_Bahkan istilah ‘ngecharge HP ke kafe sudah menjadi istilah yang tidak asing lagi bagi sebagian pemuda Bali, yang berarti ‘mencari wanita penghibur di kafe-kafe‘_.
Orang Bali perlahan tergerus dalam efek negatif pariwisata, mengalami kegamangan, kebingungan dan kehilangan pondasi dasar dalam menghadapi perubahan yang demikian cepatnya. *_Akankah “legenda manusia Bali” akan menjadi sejarah?_* Mengapa bisa menjadi seperti saat ini?

Dimana ada gula, disana pasti semut akan berkerumun. Demikian juga Bali, legenda sebagai pulau surga mampu menggaet jutaan pariwisata asing dan domestik setiap tahunnya, memancing gelombang pendatang yang memasuki pulau Bali, hingga sudah mencapai 40% dari seluruh penduduk. Parahnya, orang Bali ternyata tidak mampu bersaing dengan para pendatang itu.

_Meskipun SDM Bali berada di atas rata-rata, namun sering terbentur oleh adat dan lingkungan yang tidak memungkinkannya berkembang._
Orang Bali layaknya pembantu di rumah mereka sendiri. *_Bangga dijadikan tontonan yang tidak ubahnya seperti topeng monyet,_* dimana sebenarnya penikmat utama dari duit yang masuk ke Bali adalah *investor yang inginnya “ajeng Bali“ atau “adep Bali“ semata.*

Sikap feodal yang membawa orang Bali menjadi *MANJA* dan tidak mau *BEKERJA KERAS* juga merupakan hal utama dalam memukul mundur Bali itu sendiri. Semua sektor informal yang dipandang *“rendah”,* merupakan sektor yang paling mampu mengeruk kekayaan Bali _dikuasai oleh pendatang._ Sehingga tidaklah salah kalau orang mengejek orang Bali dengan mengatakan; *_“Orang Bali menjual tanah untuk membeli bakso dan pendatang menjual bakso untuk membeli tanah di Bali”_*.
 Ironi memang, tapi begitulah kenyataannya.

*_Sikap senang melihat saudara susah dan susah melihat saudara senang_* juga merupakan penyakit kronis yang sudah menghinggapi orang  Bali. Tidak jarang sikap ini dilampiaskan melalui *_aji ugig, pengiwa, atau ilmu hitam lainnya._*
 Jika ada seorang warga banjar yang nampak sukses dan karena kesibukannya tidak mampu secara rutin mengikuti kegiatan banjar, maka dengan mudahnya orang tersebut dipersalahkan, dipergunjingkan, bahkan tidak jarang *“kutang banjar”.*

_Namun anehnya di balik iri dan dengkinya terhadap saudara sendiri, dia menerima pendatang dengan sangat welcome_. Mendirikan pasraman/ashram dan sejenisnya sulitnya minta ampun, padahal sama-sama orang Hindu Bali. Tetapi membangun tempat suci agama lain difasilitasi dengan baik karena alasan *toleransi*.
Apakah toleransi hanya berlaku bagi pendatang dan tidak berlaku bagi warga lokal?

Institusi lokal yang seharusnya menaungi dan melindungi Bali juga tidak mampu berperan, bahkan kesannya cenderung menekan dan menghancurkan. *Awig-awig desa adat sering kali menjadi self-destruction.* Banyak masyarakat Bali yang harus keluar dari adat dan meninggalkan Hindu karena konflik dengan adat dan dengan upacara-upacara adatnya.
*_Parisada yang seharusnya menjadi pengayom dan pembimbing umat sudah mandul._* Berbagai macam kasus yang seharusnya ditindak secara proaktif tidak juga kunjung dilakukan. _Kasus penghancuran Pura di Sanur oleh investor, pembuatan “pura tipuan” oleh para misionaris, penistaan simbol-simbol Hindu dan permasalahan sosial lainnya tidak mampu dipecahkan oleh Parisada_. Tidakkah yang duduk di dalam Parisada adalah orang-orang intelek yang mampu menyetir Hindu dan Bali pada khususnya ke arah yang benar?

Berbagai program bertajuk “Ajeg Bali” sudah banyak dikumandangkan. Tetapi dalam kenyataannya, hal itu selayaknya sebuah wacana yang tidak lebih dari pada sebuah bahasa para dewa yang terkesan tidak aplikatif. Bahkan, tidak jarang moto Ajeg Bali berujung pada ajang bisnis semata.

Suatu kondisi seperti ini menghantarkan orang Bali kepada keinginan untuk *_berubah_*. Namun, perubahan kearah mana yang akan dituju? Setiap kondisi kesusahan dan penyakit selalu dikaitkan dengan hal-hal yang diluar nalar.
Pergi ke orang pintar untuk *_“meluasan”_* dan melakukan *_upacara besar_* yang tidak diiringi oleh keiklasan dan sikap untuk memperbaiki tingkah pola diri sendiri pada akhirnya hanya membuat orang Bali *tambah miskin,* *_miskin harta, miskin rasa, dan miskin filsafat._*

_Beramai-ramai mencari trah dan kawitan dengan harapan masuk kedalam golongan Tri Wangsa juga merupakan tren yang sedang hangat saat ini_.
Tidakkah kita sadar bahwa Tri Wangsa yang juga bentuk lain dari sistem Kasta, sangat bertentangan dengan hukum Agama Hindu? Bangga akan leluhur dan dapat menjadikannya sebagai modal untuk menyongsong masa depan yang lebih baik adalah hal positif, tapi bagaimana jika kebanggaan tersebut membangkitkan egoisme sempit dan menghancurkan diri sendiri?

Dengan kehidupan yang di jejali upacara untuk menyupat Bhuana Agung yang nilainya tidak dapat dikatakan murah, tidak dibarengi dengan filsafat demi mengendalikan Bhuana Alit yang membuat manusia Bali semakin miskin moral.
*_Tidaklah mengherankan jika orang-orang Bali yang sedikit lebih intelek berusaha lari mencari pencerahan_*. Yang beruntung mungkin menemukan warna yang berbeda dari Hindu yang ada di Bali, namun yang kurang beruntung akhirnya ’hijrah’ ke agama lain.

Bagaimana mengembalikan Jiwa Bali seperti sedia kala? Jati diri atau sifat khas orang Bali adalah sifat dasar, norma, kepercayaan, dan tuntunan hidup mendasar yang seharusnya melekat pada setiap orang Bali. Jangan lupa bahwasanya budaya Bali dibangun dengan spirit Hindu, jika spirit ini hilang, pulau Bali dan orang-orang Bali tidak ubahnya seperti perangkat yang tidak memiliki software yang tepat.

Pada abad ke-10, dibawah pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh, aliran-aliran yang berkembang di nusantara bersatu menjadi Agama Saiwa Sidhanta atau yang populer disebut “Pengider–ider” (Dewata  Nawa Sanga), semua dewa dipuja menjadi satu kesatuan dalam Upacara, puja dan tata letak, yang dikenal sebagai Tiga Kerangka Agama Hindu yaitu, Tattwa, Susila dan Acara/Upakara, yang terwujud dalam ruang lingkup Panca Yadnya.

Ajaran inilah yang berkembang menjadi Agama Hindu Bali dengan segala  peraturan pelaksanaannya yang melahirkan Budaya Bali, yang juga membedakannya dengan corak dan wajah Hindu di India dan wilayah lainnya. Yang dimaksud *Hindu Bali disini tentu adalah Hindu yang dilaksanakan dalam koridor Kebudayaan Bali*, yang seluruh aktivitasnya berada di lingkup Desa *Adat/Pekraman.* Dengan demikian bagaimana cara mengembalikan kebudayaan Bali ke identitasnya yang sejati?

Mau tidak mau, suka tidak suka, masyarakat harus kembali pada kitab *suci Veda* yang merupakan dasar yang paling mendasar dari seluruh kerangka dan pondasi budaya Bali, kembali menerapkan ajaran Veda dan tegas memberhangus tindakan dan kebiasaan yang tidak sesuai dengan prinsip Veda.

*Pelaksanaan upacara dan seluruh ritual adat harus dikembalikan kedalam koridor ajaran Veda.*
 Para Brahmana tidak boleh melakukan upacara besar demi bisnis “banten” semata. Awig-awig adat juga harus selalu bersandar pada prinsip-prinsip Veda, bukan ditunggangi oleh kepentingan sesaat yang sifatnya pribadi.

Tempat-tempat suci dan juga pura keluarga tidak hanya dijadikan sebagai media upacara, tetapi dikembalikan ke fungsinya yang lebih luas, yaitu sebagai tempat bermasyarakat dan belajar filsafat sehingga antara upacara dan filsafat dapat berjalan dengan harmoni, sehingga dapat diimplementasikan secara menyeluruh kedalam semua sisi adat dan budaya di Bali.

*Bali yang tanpa Hindu, Bali yang tanpa filsafat, tempat suci, masyarakat desa pakraman yang hilang keramahtamahannya, adalah Bali yang telah lenyap*.
*_Adalah kewajiban kita semua sebagai masyarakat Bali untuk mengembalikan Bali menjadi lebih baik._*
🙏🙏🌹🌹🙏🙏

Sumber: whatapp group

0 comentários:

My Instagram

E-mail: liridwan85@gmail.com | Phone: +62 812 387 011 47